Rabu, 23 Maret 2011

SEJARAH BERDIRINYA BANK SYARIAH DI INDONESIA



Pendahuluan
Salah satu kegiatan usaha yang paliing dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya di dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuanganan ini mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Dan berbagai fungsi lain yang berupa jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antarnegara.
Yang menjadi permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan tersebut jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam bukanlah dari segi fungsi lembaga tersebut melainkan dari konsep usahanya serta teknik operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang digunakan. Di sini kita menyadari bahwa kegiatan usaha yang diinspirasikan oleh sistem kapitalis ini adalah dengan jalan menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit yang dimanfaatkannya melalui dan simpanan masyarakat yang kemudian dipinjamkan kembali kepada masyarakat dengan tambahan berupa bunga.
Konsep usaha yang mudah dengan janji keuntungan yang berlipat ganda tanpa mengandung resiko rugi ini, tentu mengandung pertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menghargai usaha dan mengharamkan riba. Hal ini menimbulkan perdebatan yang berlarut-larut dikalangan ahli fiqh di Indonesia.
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, bahkan berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Yang menjadi tanda tanya besar di benak kita bahkan para cendekiawan-cendekiawan. Dalam kenyataannya, berdirinya perbankan dengan prinsip hukum Islam berdiri belakangan diantara negara-negara Muslim atau Negara yang berpenduduk Muslim lainnya. Padahal,  dalam catatan sejarah mengatakan bahwa gagasan mendirikan bank yang berprinsip Syariah sudah muncul sejak Indonesia belum merdeka yakni pada awal – awal tahun 30-an oleh para cendekia–cendekia Muslim Indonesia, walaupun pada akhirnya terealisasasi juga pada tahun yang jauh sesudahnya.

Rumusan masalah

1.      Kapan gagasan mendirikan Bank Syariah di Indonesia muncul ?
2.      Apa saja hambatan mendirikan Bank Syariah di Indonesia ?
3.      Faktor apa saja yang menghambat berdirinya Bank Syariah di Indonesia ?
4.      Kapan berdirinya Bank Syariah di Indonesia ?





Pembahasan

A.    Munculnya Gagasan Mendirikan Bank Syariah di Indonesia
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan lembaga keuangan yang melaksanakan kegiatan usahanya sesuai atau mendasarkan pada prinsip-prinsip Syariah. Adanya adalah untuk meninggalkan unsur-unsur yang dilarang dalam Islam sebagaimana maksud diatas, kemudian menggantikannya dengan akad-akad tradisional Islam atau yang lazim disebut dengan prinsip  Syariah, yakni pondasi dasarnya adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Keinginan umat Islam akan adanya Bank yang beroprasi sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah Islam sudah sejak lama di gagas oleh para tokoh dan cendikiawan Muslim Indonesia. Gagasan mendirikan bank yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tersebut sudah muncul sejak tahun 1930-an berbarengan dengan timbulnya reaksi dan kontroversi diantara Ulama Indonesia mengenai hukum bunga bank  pada perbankan konfensional. Pada tahun 1937 misalnya, ketika KH. Mas Mansur, ketua PB Muhammadiyah periode 1937-1944, mengemukakan pendapatnya tentang penggunaan jasa perbankan konfensional bagi umat Islam (Mansur1986, hlm. 25-28), ia ketika itu sudah memunculkan gagasan mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia.
Meskipun pada awalnya gagasan tersebut kurang mendapat respon positif baik dari masyarakat maupun penjajah pada waktu itu. Namun setelah beberapa tahun kemudian sering dengan semakin lamanya kontroversi mengenai hukum bunga bank di kalangan ulama, gagasan gagasan mendirikan Bank Syariah semakin sering disuarakan umat Islam di Indonesia. Bahkan, hingga beberapa tahun setelah Indonesia merdeka gagasan tersebut senantiasa disuarakan dan didukung oleh sebagian besar ulama dan cendikiawan Muslim Indonesia.
Terkait dengan gencarnya umat Islam dalam menyuarakan Bank Syariah tersebut, pada tahun 1958 salah seorang ekonomi terkemuka Indonesia, Muhammad Hatta, justru mengeluarkan komentar kontradiktif. Ia ketika itu dengan tegas menyatakan menolak gagasan masyarakat muslim untuk mendirikan Bank Islam yang bebas bunga, karena menurutnya bank tidak akan langgeng tanpa menerapkan bunga (Muhammad 2005, hlm. 45), namun, komentar tersebut sama sekali tidak menyurutkan upaya umat Islam untuk terus menyuarakan gagasan tersebut.
Selanjutnya pada tahun 1968, organisasi Muhammadiyah dalam muktamarnya di Sidoarjo, selain memutuskan bahwa bunga bank adalah mutasyabihat sesuatu yang belum jelas hukumnya, juga mengatakan kepada PP Muhammadiyah agar mengupayakan terwujudnya lembaga perbankan sesuai dengan kaidah Islam (Antonio 2005, hlm. 62).
Intenitas upaya menggagas berdirinya Bank Syariah di Indonesia semakin meningkat lebih-lebih setelah diadakanya konferensi negara-negara di Kuala Lumpur Malasyia pada tahun 1969, yang diantara lain memutuskan supaya dibentuk Bank Syariah yang bersih dari sistem riba dalam waktu secepat mungkin (Sudarsono 2005, hlm. 28). Lalu didukung pula dengan berdirinya Islamic Development Bank (IDB), di Jeddah pada tahun 1975,  dimana Indonesia merupakan salah satu negara pendirinya (Perwata Admadja dan Antonio 1999, hlm. 60).
Menyusul kedua peristiwa tersebut upaya menggagas berdirinya Bank Syariah di Indonesia semakin sering di bicarakan dalam bebagai forum diskusi atau seminar di Indonesia, antara lain di bicarakan dalam Seminar Nasional hubungan  Indonesia dengan Timur Tengah pada tahun 1974, dan juga dalam seminar Internasional yang di selenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika pada tahun 1976 (Sudarsono 2005, hlm. 30).
Dari uraian diatas dapat difahami bahwa gagasan untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia sudah di mulai sejak zaman  penjajahan, dan disuarakan oleh umat Islam hingga setelah bangsa Indonesia merdeka.
Meskipun gagasan tersebut sudah lama disuarakan dan diperjuangkan oleh umat Islam, namun hingga akhir tahun1980-an ternyata belum juga dapat diwujudkan karena disamping kondisi sosial, politik maupun hukum ketika itu belum cukup dan akomodatif untuk mendukung terwujudnya gagasan tersebut, dominasi sistem bunga pada saat itu masih sangat dominan dan legitimate dalam praktik perbankan Indonesia yang ketika itu masih di dasarkan pada UU No 1 tahun 1967 tentang perbankan. Oleh karean itu, hingga akhir tahun 1980-an keinginan umat Islam untuk dapat mendirikan Bank Syariah di Indonesia masih tetap sebatas gagasan yang belum mampu untuk diwujudkan.
B.      Hambatan Mendirikan Bank Syariah di Indonesia
Seperti telah disinggung diatas, meskipun gagasan mendirikan Bank Syariah sudah muncul sejak zaman penjajahan, dan diperjuangkan umat Islam  Indonesia  hingga bangsa Indonesia merdeka. Namun Hingga tahun1980-an gagasan tersebut belum juga dapat di wujudkan. Padahal di negara-negara Muslim lainnya Bank Islam sudah berdiri sejak tahun 1970-an bahkan di negara-negara yang umat Islamnya minoritas sekalipun, seperti di Filipina, Bank Islam sudah berdiri sejak tahun 1973 (Effendy 2001, hlm.16). Sedangkan di Denmark sudah berdiri Islamic Bank International of Denmark pada tahun 1983 (Algauod dan lewis, 2005 hlm. 20). Hal ini menegaskan, meskipun Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, namun dalam hal mendirikan institusi keuangan yang berlabel Syariah, seperti Bank Syariah, ternyata jauh tertinggal jika di bandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya tampak jelasa bahwa Indonesia merupakan negara Muslim yang sangat terlambat dalam mendirikan Bank Islam dimana Bank Muamalah Indonesia baru berdiri pada tahun 1992.
Table berdirinya bank islam di Negara muslim:
No
Nama Negara
Nama Bank Islam
Tahun Berdiri
1.
Arab Saudi
Islamic Development Bank
1975
2.
U. E. A
Dubai Islamic Bank
1975
3.
Mesir
Faisal Islamic Bank of Egypt
1977
4.
Bangladesh
Islamic Bank Bangladesh
1983
5.
Senegal
Banque Islamique du Senegal
1983
6.
Qatar
Qatar Islamic Bank (SAQ)
1983
7.
Malaysia
Bank Islam Malaysia
1983
8.
Tunisia
Bank al-Tamwil al-Saudi Tunisi
1984
9.
Bahrain
Bahrain Islamic Bank
1985
10.
Afrika Selatan
Al-Baraqah Bank
1989
11.
Indonesia
Bank Muamalat indonesia
1992
Sumber : Lewis dan Algaoud (2005, hlm.11)
Tertinggalnya Indonesia dalam mewujudkan gagasan mendirikan Bank Syariah tersebut menurut Rohardjo (1999, hlm. 405), tidak lain disebabkan beberapa faktor, antara lain :
1.      Operasi Bank Syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur, dan karena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku, yakni UU No 19 tahun 1967.
2.      Konsep Bank Syariah dari segi politik berkonotasi idiologis, merupakan bagian dari atau berkaitan dengan konsep negara Islam, dan karena itu tidak di kehendaki pemerintah.
3.      Masih di pertanyakan, siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara pendirian Bank baru di Timur Tengah masih di cegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Mengacu pada apa yang dinyatakan M. Dawam Rahardjo seperti dikutip diatas, dapat ditegaskan paling tidak ada tiga faktor yang sangat dominan sebagai penyebab terhambatnya pendirian Bank Syariah di Indonesia ketiga faktor tersebut adalah faktor politik, faktor landasan hukum, dan faktor sosial.

C.    Faktor-faktor Penghambat Berdirinya Bank Syariah di Indonesia  
1.      Faktor Politik
Sulit dipungkiri bahwa salah satu penyebab terhambatnya upaya umat Islam dalam mewujudkan gagasan mendirikan Bank Syariah di Indonesia adalah di sebabkan oleh faktor politik. Seperti diketahui sejak awal mula K.H Mas Mansur melontarkan gagasan mendirikan Bank Syariah di Indonesia pada tahun 1937, sudah berhadapan dengan kekuatan politik yang berkuasa saat itu, yakni pemerintan Belanda yang langsung melarang gagasan tersebut (Effendy 2001, hlm.14). Sebab menurut penguasa saat itu, gagasan tersebut mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Sehingga dianggap akan mengancam keamanan bangsa dan negara (Sumitro 2004, hlm.81).
Setelah bangsa Indonesia merdeka, keadaan belum begitu banyak berubah, faktor politik ternyata masih tetap menjadi gagasan utama dalam upaya mewujudkan gagasan mendirikan Bank Syariah di Indonesia hal ini terlihat antara lain dari penegasan seorang ekonomi yang juga seorang wakil presiden RI, Muhammad Hatta (1958,hlm. 28). Yang pernah menyatakan bahwa Riba adalah bunga pada kredit konsumtif, sedangkan bunga pada kredit produktif tidak termasuk riba sehingga tidak haram. Selain itu juga tegas menolak gagasan masyarakat Muslim untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia (Muhammad 2005, hlm. 45).
Dari sikap dan penegasan Muhammad Hatta tersebut, jelas mengindikasikan bahwa ia lebih mendukung eksistensi Perbankan Konvesional, dan tidak menginginkan beroperasinya Bank Syariah di Indonesia. Sebagai salah seorang yang berpengaruh di Indonesia pada saat itu, jelas pendapat dan pendiriannya tersebut berdampak politik, didukung dan diikuti pemerintah pada saat itu. Sedangkan keinginan umat Islam yang mendirikan Bank Syariah di Indonesia sama sekali belum direspon pemerintah.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, upaya mewujudkan mendirikan Bank Syariah di Indonesia semakin gencar di lakukan umat Islam. Namun lagi-lagi upaya tersebut kembali harus berhadapan dengan kekuatan politik yang berkuasa saat itu. Upaya menggagas berdirinya Bank Syariah pada saat itu justru di anggap pemerintah sebagai bagian dari cita-cita mendirikan negara Islam. Para penguasa orde baru pada masa itu menurut M. Dawam Rohardjo’’ masih mencurigai adanya keterkaitan antara ide mendirikan Bank Islam dengan gerakan pendirian negara Islam atau perwujudan Piagam Jakarta “ (Karim 2004, hlm. XXI).
Meskipun dipenghujung masa pemerintahan Orde Baru, Bank Syariah akhirnya diijinkan beroperasi, namun diawal-awal pemberian izin tersebut pemerintah masih khawatir akan adanya dampak negatif sebagai konsekuensi dari berdirinya Bank Syariah tersebut. Hal ini terlihat dari pernyataan Hasan Basri (ketua MUI saat itu). Setelah ia menghadap presiden Soeharto berkaitan dengan rencana pendirian Bank Syariah di Indonesia Hasan Basri, sebagaimna dikutip Triyuwono (2000, hlm. 116) mengatakan:
“Presiden adalah orang yang tidak menghendaki keributan dalam masyarakat kita. Ketika saya menjadi orang pertama yang ditanyai oleh beliau mengenai nama Bank itu, saya menjawab namanya adalah Bank Muamalat Islam Indonesia kemudin beliau menyatakan” pendapat saya adalah anda tidak perlu mencamtumkan kata Islam setelah kata Muamalah, kata Muamalah sendiri sudah menunjukkan Islam jangan mengundang moyo (bahasa jawa, yang artinya sumber penyakit)”.
Dari ungkapan Hasan Basri yang dikutip diatas, menggambarkan hingga saat itu kekhawatiran pemerintah dan keuangan sebagai masyarakat tertentu terhadap rencana pendirian Bank Syariah di Indonesia masih tetap terjadi pendirian Bank Syariah di anggap akan mengganggu stabilitas nasional, sehingga pemerintah tidak begitu saja memperbolehkan berdirinya Bank Syariah di Indonesia. Itulah sebabnya meskipun upaya mendirikan Bank Syariah ketika itu sudah melalui proses ilmiah dan kontektualisasi, tetapi tetap belum mendapat persetujuan pemerintah, setelah melalui pendekatan politik, terutama setelah mendapat persetujuan dari presiden Soeharto waktu itu, barulah  Bank Islam pertama di Indonesia dapat bediri dengan nama Bank Muamalah Indonesia. Hal ini jelas mewujudkan bahwa faktor politik merupakan salah satu penyebab ulama terhambatnya pendirian Bank syariah di Indonesia.
2.      Faktor Landasan Hukum
       Selain  faktor politik, terhambatnya pendirian Bank Syariah di Indonesia juga disebabakan faktor hukum, yakni tidak adanya perangkat aturan yang secara  yuridis dapat dijadikan landasan dalam mendirikan Bank Syariah. Keadaan ini muncul sejak berlangsung gagasan mendirikan Bank Syariah di Indonesia pada tahun 1937 hingga akhir tahun 1980-an. Berbeda dengan eksistensi perbankan dengan sistem bunga yang sejak awal keberadaannya senantiasa dilengkapi sejumlah peraturan perundang-undangan yang diperlukan sebagai landasan yuridis dalam mengoperasikannya.
         Lahinya Bank Indonesia misalnya, yang merupakan hasil proses nasiolisasi de Javasche Bank milik  belanda pada tahun 1951 sudah didasarkan pada undang-undang No. 24 tahun 1951 (Dewi 2005, hlm. 148), lalu disusul dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No 11 tahun 1953. Selain itu, pada tahun1950-an tersebut tedapat sejumlah peraturan yang mempermudah persyaratan mendirikan bank (Simorangkir 1989, Hlm. 86). Namun, peraturan perundang-undangan yang pernah ada tersebut tidak ada satapun mengakomodasi keinginan umat Islam yang mendirikan Bank Syariah, melainkan hanya semata-mata untuk kepentingan perbankan dengan sistem bunga. Sehingga tidak ada satupun bank yang beroprasi ketika itu yang tidak berdasarkan system bunga, bahkan, Bank yang didirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) sendiri pada tahun1950 di Jakarta, dan pada tahun 1960 di Semarang juga menerapkan sistem bunga dalam operasinya (Supriyanto 1990, hlm. 12-13).Keinginan umat Islam mendirikan Bank Syariah di Indonesia menjadi tertutup.
Dengan demikian, sistem perbankan yang berlaku di Indonesia masih didasarkan pada undang-undang tersebut, maka tidak dimungkinkan unutk mendirikan Bank Syariah. Oleh sebab itulah keinginan masyarakat untuk mendirikan Bank Syariah di Indoneisa baru dapat terwujud pada awal tahun 1990-an setelah lahir beberapa ketentuan lain yang mengubah ketentuan Undang-Undang Perbankan No. 14 tahun 1967 tersebut. Hal ini menegaskan bahwa ketiadaan landasan hukum  merupakan salah satu faktor penyabab terhambatnya pendirian Bank Syariah di Indonesia.
3.      Faktor Sosial
Selain kedua faktor diatas, terhambatnya pendirian Bank Syariah di Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh sosial yang ikut mempengaruhi upaya mendirikan Bank Syariah tersebut meliputi antara lain; kepercayaan, nilai yang dianut sikap dan pendirian masyarakat (Muhammad 2005, hlm. 42). Termasuk didalamnya kebiasaan-kebiasaan yang telah lama mentradisi di kalangan masyarakat, khususnya dalam bidang perbankan .
Kebiasaan masyarakat yang telah lama terbiasa mengunakan  jasa perbankan dengan sistem bungan misalnya, jelas merupakan salah satu penghambat berdirinya Bank Syariah di Indonesia hal ini karena sejak keberadaan de Javasche Bank yang merupakan bank yang pertama kali berdiri di Indonesia pada tahun 1972 yang telah menanamkan nilai-nilai sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga dalam operasionalnya. Akibatnya, seperti dinyatakan Sudarsono (2005, hlm. 24). Termasuk umat Islam menjadi familiar dengan perbankan konvensional dari pada perbankan Syariah. Dikalangan masyarakat seolah-olah tidak ada lagi kekhawatiran akan konsekuensi buruk dari sistem bunga, mereka menjadi terbiasa dengan sistem bunga, dan telah menerimanya sebagai bagian sistem ekonomi yang berjalan, sehingga terhadap Bank Syariah yang tanpa menerapkan sistem bunga dalam operasionalnya, masyarakat justru kurang tertarik (Muhammad 2005,hlm. 234).
Faktor-faktor sosial semacam ini telah lama tertahan dalam benak masyarakat tidak begitu saja dapat diubah, perlu waktu yang panjang, menumbuhkan kepercayaan serta mengubah preferiasi masyarakat terhadap Bank Syariah.

D.    Berdirinya Bank Syariah di Indonesia
1.      Munculnya Peluang Mendirikan Bank Syariah di Indonesia
Upaya masyarakat Islam untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia baru mulai menemukan titik terang pada saat pemerintah menerbitkan serangkaian paket deregulasi bidang ekonomi, khususnya sektor perbankan pada awal-awal 1980-an.
Terbitnya serangkaian  paket deregulasi sektor perbankan tersebut tidak terlepas dari semakin buruknya performa dunia perbankan Indonesia saat itu. Diawali dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas tentang perbankan di Indonesia, yang diikuti dengan kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia perbankan ketika itu (Budi santoso dan Inandaru 2006, hlm.74-75), menjadikan dunia perbankan Indonesia tidak mampu menjalankan peran dan   fungsinya secara optimal. Sementara itu ditengah semakin sulitnya sestem pengendalian tingkat bunga oleh pemerinrah terhadap perbankan nasional dan tingginya tingkat ketergantungan bank-bank yang ada terhadap Keredit Liquiditas Bank Indonesia (KLBI), menjadikan bank-bank tersebut tidak mampu berdiri.
Selain itu, buruknya pelayanan di dunia perbankan ketika itu membuat masyarakat kurang tertarik untuk berhubungan dengan bank. Sebagian besar masyarakat suka berhubungan dengan rentenir atau koperasi untuk melakukan kegiatan simpan pinjam dari pada berhubungan dengan bank (Artesa dan Handiman 2006, hlm. 48). Guna memperbaiki perbankan nasional yang sedemikian rupa, agar lebih mendiri dan dapat lebih mendiri dan dapat lebih berperan dalam pembangunan perekonomian nasional lalu pemerintah menerbitkan serangkaian kebijakan berupa paket deregulasi di bidang perbankan yang diharapkan akan meningkatkan kenerja-kenerja dunia  perbankan.
Adapun paket deregulasi pertama dalam bidang perbankan yang diterbitkan pemerintah adalah paket deregulasi satu juni 1983, diantara ini dari paket deregulasi adalah memberikan kebebasan kepada setiap bank untuk menentukan sendiri suku bunga simpanan dan pinjaman (Bank Indonesia 1988, hlm. 21).
Dengan demikian, tingkat suku bunga simpanan dan pinjaman pada setiap bank yang sebelumnya ditetapkan secara seragam oleh pemerintah, sekarang masing-masing bank dapat dengan bebas menetukan sendiri tingkat suku bunga yang di inginkannya.Dari sinilah mulai munculnya peluang mendirikan Bank Syariah, karena dengan di bebaskannya penetuan besar bunga  kepada masing-masing bank, maka secara implisit dapat dipahami bahwa suatu bank dapat saja dapat menetapkan bunga bank hingga (0%) sekalipun hal ini berarti memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yakni atas dasar bagi hasil( Dewi 2005, hlm. 61). Namun, pada saat itu belum ada peraturan yang membolehkan pendirian bank yang berperinsip Syariah dan juga belum ada pedoman yang jelas mengenai sestem bagi hasil, maka pendirian Bank Syariah ketika itu ternyata belum dapat dilakukan.
Setelah deregulasi pertama di nilai memberikan dampak positif terhadap kondisi perbankan nasional, lima tahun kemudian pemerintah kembali menerbitkan paket deregulasi 27 oktober 1988 atau yang dikenal dengan sebutan PAKTO 1988 (Bank Indonesia 1983, hlm.9). Paket deregulasi ini intinya tentang liberalisasi di bidang industri perbankan yang membebaskan kepada masyarakat untuk mendirikan bank-bank yang baru selain yang sudah ada dengan terbitnya paket deregulasi tersebut, peluang untuk mendirikan Bank Syariah di Indonesia lebih terbuka, kendala yang dihadapi ternyata tetap seperti ketika terbitnya paket deregulasi pertama, yakni tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan Bank Syariah, selain klausul yang dapat ditafsirkan bahwa bank dapat menetapkan bunga sebesar (0% ) kepada nasabahnya. Sehingga para ulama waktu itu berusaha  untuk memanfaatkan peluang tesebut, namun tetap belum berhasil. Upaya mendirikan Bank Syariah waktu itu belum juga dapat diwujudkan.
2.      Berdirinya BPR Syariah dan Bank Muamalah Indonesia
Meskipun upaya merealisasikan keinginan umat Islam mendirikan Bank Syariah masih menemui berbagai kendala, namun perjuangan ulama untuk memanfaatkan peluang yang ada ternyata tidak surut. Mereka senantiasa berupaya dengan melakukan berbagai pendekatan.
Sudah lama para ulama dan para cendikiawan Muslim berusaha melakukan berbagai pendekatan, pada tanggal 5 juli 1990 barulah keinginan umat Islam untuk mendirikan Bank Syariah mendapat respon positif  dari pemerintah ketika itu dalam rapat kerja komisi VII DPR RI , pemerintah menegaskan bahwa tidak ada halangan untuk mendirikan atu mengoperasionalkan bank yang sesuai dengan prinsip  Syariah Islam sepanjang pengoperasian Bank tersebut memenuhi kriteria kesehatan bank sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia (Sumitro 2004, hlm. 27).
Berdasarkan penegasan pemerintah tersebut, lalu pada bulan agustus 1990 para ulama, cendikiawan Muslim dan  praktisi perbankan menyusun suatu program untuk mendirikan Bank Perkreditsn Raknyat berdasarkan prinsip Syariah (BPR Syariah). Sebagai langkah awal ketika itu ditetapkanlah tiga lokasi yang di anggap internal untuk mendirikan BPR yang berprinsip Syariah yakni BPR Dana Mardhtilah, BPR Berkah Amal Sejahtera dan BPR Amanah Robaniah yang ketiga-tiganya berlokasi di Bandung.
Setelah ketiga BPR tersebut mendapat izin prinsip Menteri Keuangan RI pada tanggal 8 oktober 1990. Lalu pada tanggal 19 Agustus 1991 BPR dana Mardhatilah mulai beroprasi dengan izin menteri keuangan RI No. Kep-20/KM/-13/ 1991 dan BPR Berkah Amal Sejahtera dengan izin menteri keuangan Republik Indonesia RI No. Kep-200 /KM. 13/1991. Kemudian disusul BPR Amanat Robaniah yang mulai beroprasi pada tanggal 24 oktober 1991 dengan izin Menteri Keuangan RI No-Kep-281/KM.13/1991(Sumitro 2004, hlm.128). Dengan demikian inilah bank-bank Islam  pertama yang beroperasi di Indonesia. Yang selama ini diinginkan dan di upayakan umat Islam Indonesia.
Selain BPR tersebut, setahun kemudian juga beroperasi Bank Muamalah Indonesia (BMI) yang merupakan Bank Umum. Ide pemikiran itu sendiri berasal dari loka karya ulama tentang bunga bank dan perbankan pada tanggal 18-Agustus 1990 di Cisarua Bogor. Ide ini lalu di pertegas pada MUNAS  VI Majelis Ulama Indoneisia (MUI) di Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Lalu atas dasar amanat di MUNAS tersebut di mulailah langkah kongkrit untuk mendirikan Bank Islam yakni antara lain dengan membentuk tim dalam sebagai steering committee untuk mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan pendirian Bank Islam tesebut ( Perwata Admadja dan Antonio 1999, hlm.84)
Berkat kesigapan tim yang diketahui Dr. Ir.Amin Aziz tersebut dalam mempersiapkan segala sesuatunya, dan besarnya dukungan dari semua pihak waktu itu, maka hanya dalam waktu satu tahun sejak di bicarakannya ide tersebut pada tanggal 1 November 1991 sudah dilakukan penandatangan Akta pendirian PT Bank Muamalah Indonesia (BMI) di Hotel Sahid Jaya Jakarta. pada saat penandatangan akta tersebut sudah terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 milyar. Lalu pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturrahmi dengan Presiden Soeharto di Istana Bogor, dapat dipenuhi total komitmen modal sebesar Rp 116 milyar. Dana tersebut berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh Menteri Kabinet Pembangunan V, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Yayasan Dakap, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti Pertiwi, PT PAL dan PT Pindad (Sudarsono 2005, hlm. 31). dengan terkumpulnya dana tesebut, maka setelah memperoleh izin usaha menteri keuangan RI, lalu pada tanggal 1 Mei 1992 Bank Muamalah Indonesia (BMI) mulai beroperasi dan memberikan pelayanan perbankan secara Islam kepada para nasabahnya.
Dengan demikian, hingga tahun 1992 tersebut, di Indonesia sudah berdiri dua jenis Bank yang sistem operasionalnya berdasarkan prinsip Syariah yaitu Bank perkeriditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Bank Muamalah Indonesia (BMI) sebagai Bank umum.

                                     






                                   
Penutup
Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1944 telah menguraikan pendapatnya tentang penggunaan jasa Bank Konvesional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena bangsa Indonesia belum mempunyai bank yang sistem operasionalnya bebas dari riba. Kemudian disusul dengan ide untuk mendirikan Bank Syariah yang sebenarnya sudah muncul pada tahun 30-an. Wacana ini dibicarakan pada seminar nasional Hubungan Indonesia Dengan Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada thun 1976 dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun ada ada beberapa alasan yang menghambat terealisasinya ide tersebut.
Setelah dikeluarkannya PAKTO (Paket Kebijaksanaan Pemerintah bulan Oktober) pada 1988 yang berisi tentang liberasisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan kemudian pada tanggal 1 Mei 1992 berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Umum.
Selama kurun waktu perkembanga perbankan syariah, sejak pertama kali berdiri tahun 1992, tercatat hingga tahun 2006 terdapat 3 (tiga) Bank Umum Syariah (Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah).

1 komentar: